Pernah suatu saat, kekerasan anti-Syiah meledak di Al Hassa, Saudi timur. Sejumlah warga Syiah, termasuk anak-anak, menjadi korban penembak yang diduga komplotan ISIS. Ditemani warga setempat, saya keliling blusukan ke pasar, sekolah, hawzah, masjid, kuburan, dan sebagainya, serta wawancara dan ngobrol dengan para syaikh, imam, ulama, guru, pedagang, dan warga, baik Syiah maupun Sunni. Ekspresi mereka sama: kekerasan anti-Syiah selalu dilakukan oleh “kelompok militan” yang dimobilisir dari daerah-daerah lain.

Saya juga menyaksikan bagaimana masjid-masjid dan institusi-nstitusi agama lain milik kedua kelompok ini berdiri berdampingan. Rumah-rumah warga Sunni dan Syiah juga berderet-deret berdampingan. Saya juga melihat bagaimana warga Sunni dan Syiah membaur di pasar dan ranah publik lain.

Mereka juga mengisahkan, kalau di daerah mereka warga kedua kelompok ini sudah biasa saling membantu setiap acara-acara sosial-keagamaan. Budaya kawin-mawin antara Sunni-Syiah juga sudah berlangsung ratusan tahun tanpa masalah. Setiap pengajian dan acara keagamaan juga selalu dihadiri pengikut kedua belah pihak, dan sebagainya.

Sejumlah ulama Syiah juga menunjukkan koleksi berbagai kitab-kitab klasik Islam yang ditulis para ulama Sunni (Ghazali, Syafii, Qurtuby dan lain-lain) yang juga mereka pakai sebagai rujukan dalam setiap pengajian keagamaan. Indahnya sebuah kerukunan dan kebersamaan. Sayang sekali harmoni sosial itu sering kali ternoda oleh sejumlah kelompok ekstrim yang atas nama ini-itu rela melakukan kekerasan terhadap warga Syiah. [SQ]

Artikulli paraprakRelasi Sunni-Syiah di Saudi dan Iran
Artikulli tjetërSpirit Nasionalisme Arab Kristen
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.