Masalah saling membid’ahkan dan menyesatkan atau saling klaim kebenaran dan keotentikan bukan hanya monopoli Sunni dan Syiah saja, tapi hampir terjadi di semua kelompok masyarakat, baik masyarakat berbasis agama maupun non-agama. Simak saja misalnya perseteruan antara Suku Etoro dan Suku Marind-anim di Papua Nugini. Kedua suku ini plus sekitar 50 suku lain di dataran tinggi negara tersebut adalah “suku-suku homoseksual” (oleh Gilbert Herdt disebut “ritualized homosexuality“) yang menganggap praktek “heteroseksual” sebagai tidak bermoral, aneh dan “biadab”.

Berhubungan seks dengan kaum perempuan dianggap membawa petaka. Perempuan dianggap sebagai mahluk yang kotor dan najis karena itu tidak boleh “digauli” kecuali “sementara saja” untuk kepentingan reproduksi.

Suku-suku ini hanya membolehkan laki-laki berhubungan badan dengan perempuan selama 100 hari saja dalam setiap tahunnya. Karena menganggap perempuan sebagai “berpolusi”, mereka pun tinggal mengelompok sendiri-sendiri: laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan.

Meski sama-sama homoseksual, Suku Etoro dan Suku Marind-anim berbeda orientasi seksnya. Suku Etoro lebih suka “oral seks” sesama laki-laki (tua-muda), sementara Suku Marind-anim mempraktekkan “seks jalan belakang” (“anal sex”). Menariknya, kedua suku ini saling mengklaim praktek seksual sukunya sebagai yang “paling otentik” dan “paling normal” sementara menuduh dan menyesatkan praktek seksual lawan sukunya sebagai: menjijikkan dan abnormal.

Baik Sunni maupun Syiah, Suku Etoro maupun Suku Marind-anim (dan juga kelompok-kelompok lain di jagat ini termasuk faksi-faksi dalam Kristen: Katolik, Protestan, Anabaptis, Pentakostal dan lain-lain) sama-sama mengidap semacam “penyakit etnosentris”. Yakni, pandangan yang merasa kelompoknyalah yang paling superior, paling oke, paling benar, paling murni dan konsekuen dan sebagainya.

Klaim-klaim itu terjadi karena mereka mengevaluasi, memandang, mengukur dan menilai kelompok lain dari “kacamata” kelompoknya, bukan dari “kacamata” kelompok yang mereka evaluasi, pandang, ukur dan nilai itu. Padahal, kelompok yang kita pandang sesat juga memandang kita sebagai sesat. Kelompok yang kita pandang sebagai “gila” itu juga memandang kita sebagai “gila”.

Inilah perlunya menerapkan “relativisme budaya” (pandangan yang memandang kelompok lain dari konteks kebudayaan orang lain itu) dalam menyikapi keanekaragaman suku-bangsa, agama dan kebudayaan, agar bisa meminimalisir kekerasan yang berakar dari perbedaan. Jangan suka menuduh orang lain sebagai ‘kafir” salah-salah malah kita sendiri yang terperangkap dalam kekafiran. [SQ]

Artikulli paraprakBila Ilmu Disikapi dengan Iman
Artikulli tjetërIkutilah Sunah Nabi Muhammad, Bukan Sunah Abu Jahal
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini