Alkisah di sebuah pondok pesantren, seorang santri heran karena beberapa ayam peliharaannya hilang. Maka dimulailah penyelidikan untuk mencari tahu “biang kerok” hilangnya ayam-ayam tadi. Suatu saat si santri memergoki kiai pesantren sedang memotong ayamnya. Terjadilah dialog menarik antara santri dan kiai berikut ini:
Santri: “Maaf kiai,
ayam yang dipotong itu ayam milikku.”
Kiai: “Kamu salah, apa yang ada di kolong langit dan bumi ini semua milik
Allah, bukan milik manusia. Ingatlah ayat
Al-Qur’an: “Wa lillahi ma fi samawati wa al-arld”.
Si santri pun tertegun, manggut-manggu, nyengir, dan ngeloyor pergi setelah mencium tangan kiai. Terinspirasi oleh “wejangan” sang kiai, ia pun berencana (dan dipraktekkan) mencuri kambing peliharaan kiai tadi.
Betapa kagetnya kiai melihat salah satu kambingnya hilang dan lebih kaget lagi ternyata santri tadi yang mencuri dan menyembelihnya. Dalam benak ia berpikir, “Ini santri kok kurang ngajar sekali berani mencuri kambing kiainya.” Ia pun kemudian memanggil si santri dan mengintrogasinya.
Kiai: “Kamu kok
berani2nya mencuri dan memotong kambingku?”
Santri: “Maaf kiai, saya melakukan ini karena menuruti nasehat dan
wejangan kiai. Bukankah kiai sendiri yang bilang, berdasarkan ayat Al-Qur’an,
kalau semua yang ada di bumi ini adalah milik Allah”.
Tidak mau kalah, kiai pun kembali memberi nasehat: “Ayat itu hanya berlaku untuk ayam saja, bukan untuk kambing…”
Ini guyon tidak usah mayah dan tersinggung ya? Ayat atau teks apa saja dalam Al-Qur’an, Injil, Taurat, Tripitaka, Veda, Hadis, dan kitab apa saja memang tidak punya tulang karena itu bisa dibelak-belokkan sesuai dengan “kepentingan” dan “selera” penafsirnya: ulama, ustad, pendeta, pastor, rabbi, biksu atau biku, pandita atau siapa saja.
Ayatnya mungkin benar, kita yang memahaminya yang mungkin keliru…