Betapa susahnya manusia berbuat adil yang melintas batas kemanusiaan, sebuah keadilan yang melintasi batas-batas etnis, agama, ras, suku dan sebagainya. Beberapa hari ini, saya mengamati pro-kontra ungkapan empati dan bela sungkawa terhadap para korban terorisme dan kejahatan kemanusiaan. Satu kubu begitu mendayu-dayu dan histeris membela para korban terorisme di Perancis sambil mengutuk para teroris.

Kubu lain mengkritik “para simpatisan” korban serangan brutal di Paris karena dianggap “lebai” dan “tidak adil” lantaran mendoakan dan bersimpati kepada “cuma” ratusan korban di Paris sementara mereka mengabaikan atau “pura-pura pikun” terhadap ratusan bahkan jutaan korban perang sipil dan terorisme di Iraq, Suriah, Yaman, Lebanon, Palestina, Mesir, Tanzania, Afganistan, Kashmir dan masih banyak lagi.

Memang harus diakui secara jujur, ada berapa gelintir orang-orang di Barat yang bersimpati dengan para korban kekerasan yang “menggunung” di Timur Tengah?

Ada berapa gelintir warga Barat dan non-Muslim yang bersedia mendoakan dan menyalakan lilin sebagai simbol duka-cita terhadap para jenazah Muslim yang bergelimpangan di mana-mana? Di Amerika Serikat, misalnya, setiap tahun warga Amerika memperingati tragedi serangan teroris 9/11 dengan khidmat sambil mendoakan sekitar 3000 warga sipil yang jadi korban serangan teroris terganas dalam sejarah kemanusiaan itu. Sementara di lain pihak, mereka diam membisu terhadap beribu-ribu korban terorisme dan kejahatan perang yang dikomandoi Amerika Serikat, baik di Irak maupun Afganistan.

Bukan hanya manusia, media juga sama. Simak saja media-media mainstream di Barat. Mereka begitu heroik meliput setiap ada kasus-kasus terorisme di Barat tapi nol besar terhadap aksi-aksi serupa di “negara-negara Muslim”.

Kalaupun mereka meliput, dengan maksud untuk mengutuk kelompok “Islamis teroris” bukan mewartakan para korban terorisme. Kalaupun mereka meliput kaum “Islamis teroris”, mereka sibuk menghubungkan terorisme dan kekerasan dengan ajaran-ajaran Islam dan salafisme sementara melupakan peran sentral rezim-rezim Barat sebagai “pencipta” dan “pengembang biak” kaum teroris ini. Bukankah Barat yang merekrut para “anjing gila” ini? Maka jangan salahkan jika mereka “menggigit” tuannya.

Bukan hanya Barat dan non-Muslim, sejumlah kelompok Islam juga lebay dan tidak adil. Sebagian umat Islam mengkritik Barat dan non-Muslim tidak fair dan berlebihan, sementara mereka sendiri tidak sadar melakukan “ke-lebay-an” dan ketidakadilan yang sama.

Sejumlah umat Islam (termasuk media-media penyokongnya) begitu bergemuruh membela dan berempati dengan para korban Muslim di Rohingya, Palestina, Bosnia, Mindanao dan lain-lain tapi “menyukuri” para korban non-Muslim.

Misalnya, bekas temanku, Tom Fox dan sejumlah aktivis perdamaian Amerika Serikat yang diculik dan dibunuh di Irak, bukan mendapat simpati tapi malah “kutukan” dari sejumlah kelompok Islam.

Sejumlah ormas Islam ini juga pilah-pilih dalam bersimpati: mereka baru heroik membela para korban Muslim jika yang melakukan kejahatan adalah Amerika, Israel, Rusia atau China. Jika pelaku kejahatan dan kekerasan itu adalah rezim-rezim Islam sendiri, mereka juga pura-pura rabun dan berlagak pikun. Apakah agama mengajarkan pada umatnya untuk berempati hanya pada kelompoknya saja? Saya kira tidak. [SQ]

Artikulli paraprakAgama Itu Perlu Bagi yang Memerlukan
Artikulli tjetërAgama ini Menyatukan atau Memisahkan Sih?
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini