Melanjutkan kuliah virtual tentang pakaian. Pagi tadi di kelas kami membahas khusus tentang budaya “busana Arab”. Para muridku menjelaskan tentang aneka ragam “pakaian Arab”–dari ciri khas pakaian tradisional masing-masing suku sampai “seragam nasional”.
Bagi yang belum paham tentang seluk-beluk “pakaian Arab”, khususnya untuk kaum lelaki, mungkin akan mengira bahwa desain dan bentuk “jubah Arab” itu serupa dan sewarna: putih. Kenyataanya tidak.
Dari segi desain jubah bermacam-macam. Warnanya pun beraneka ragam: hitam, cokelat, krem dan lain sebagainya. Perbedaan itu tidak hanya terjadi antar-“negara-negara Arab”, tetapi bahkan antar-daerah dalam satu negara atau antar-suku-suku besar.
Di Saudi juga sama, jubah itu bermacam-macam, dan setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Karena itu disini ada istilah “jubah Najdi”, “jubah Hijazi”, “jubah Najrani”, “jubah Hasawi” dan seterusnya. Bahkan tidak hanya jubah, kain penutup kepalanya pun bermacam-macam bentuknya.
Ketika saya tanya: “Apakah kalian yang memakai jubah itu dalam rangka meniru Nabi Muhammad atau mengikuti sunah rasul?” Mereka malah tertawa dan serentak bilang tidak. Lo, kok bisa?
Karena, menurut mereka, pakaian jubah yang mereka kenakan itu busana Arab modern, bukan “pakaian Nabi Muhammad” berabad-abad yang lalu. Memang benar sih, kebayang nggak busana seperti apakah yang dikenakan Nabi Muhammad lebih dari 14 abad yang lalu?
Jadi, kalau ada kaum Muslim sekarang di Indonesia yang “berjubah putih” ria sebetulnya bukan mengikuti “Sunah Rasul” seperti klaim mereka selama ini, melainkan mengikuti “sunah” orang-orang Arab modern…