Setiap kali mengunjungi Makkah, Masjidil Haram, dan Ka’bah, saya selalu memperhatikan perilaku umat Islam yang “unik”, “aneh” atau bahkan mungkin dianggap “gila” oleh kaum tertentu yang tidak familiar dengan tata-cara beribadah atau ritual kaum Muslim.

Di Masjidil Haram misalnya, kita akan menyaksikan aneka-ragam ekspresi ibadah ribuan kaum Muslim. Ada yang berebut uyel-uyelan (dan bahkan sikut-sikutan) untuk memegang Ka’bah dan mencium si batu hitam keramat Hajar Aswad.

Ada yang menangis histeris; ada yang berdoa dengan khusyu’ di tempat-tempat sakral tertentu; ada yang muter-muter thawaf mengelilingi Ka’bah berkali-kali sambil melafalkan berbagai kalimat pujian dan doa.

Ada yang mengantri mengambil “air suci” zam zam yang dipercaya sangat mujarab untuk mengobati penyakit apa saja. Daftar “keanehan” dan keunikan ini bertambah saat musim haji. Misalnya, jutaan umat Islam melempari “setan” dengan batu-batu kecil.

Sebagaimana umumnya umat Islam, saya juga tidak merasa unik, aneh, apalagi gila dengan berbagai ritual-keagamaan ini. Semuanya normal-normal saja. Jika kita memandang lumrah terhadap aneka ritual yang kita lakukan, maka begitulah umat beragama lain terhadap beragam ritual yang mereka lakukan.

Jika kita menganggap ritual pengikut agama lain sebagai aneh dan gila, maka begitulah mereka juga menganggap ritual yang kita kerjakan itu aneh dan gila. Oleh sebab itu, hendaknya umat beragama harus saling menghormati ibadah ritual dan budaya masing-masing, jangan malah saling mengklaim, meledek, menuduh, menghina dan melecehkan tata-cara ritual masing-masing agama. [SQ]

Artikulli paraprakAgama ini Menyatukan atau Memisahkan Sih?
Artikulli tjetërMaumu Itu Apa? Islam Yang Bagaimana?
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.